Ikut Tuhan Ngga Bikin Kamu Kaya – Maya Septha

Ikut Tuhan ngga bikin kamu kaya.

Rutin mendapatkan pencerahan dan sudut pandang yang baru, menyadari bahwa selalu ada harapan, mengerti aturan baik untuk sikap hidup yang benar.. Merasakan kasihNya selalu menyertai dan memberi kekuatan, penghiburan dan pengharapan. Mengenal karakterNya dan punya hubungan baik denganNya. Damai sejahtera yang ngga bisa dunia berikan.

Hasilnya kita mampu membuat keputusan yg tepat dan punya sikap hati yang benar. Sehingga kita punya mental yang kaya meskipun kantongnya belum ikutan 😁
Punya hati memberi meskipun ngga punya banyak. Ngga ingin mengambil apa yang bukan hak kita. Ngga cari keuntungan sendiri meskipun butuh. Saya rasa itu yang bikin mental kita kaya. Sooner or later kalau setia melakukan usaha dan terus taat menindaklanjuti apa yang Tuhan gerakkan di hati, pasti kaya juga 🤣 Mungkin setahun, sepuluh tahun 20tahun.. gaada yang jamin. Tapi bersyukur bikin hati kaya.

BTW ga ikut Tuhan juga bisa kaya kok. Tapi belum tentu punya damai sejahtera 😂 Itu ngga bisa dibeli pakai uang. Cuma Tuhan yang bisa kasih 😊

 

Source : Postingan Maya Septha via Instagram

Menjadi Orang Terpercaya dan Dipercaya

Sejak awal mula penciptaan manusia, Tuhan telah mempercayakan banyak hal kepada kita. Tuhan memperlengkapi Adam dengan kemampuan agar ia bisa bertanggung jawab mengelola segala binatang yang ada di taman Eden. Kini, tanggung jawab itu ada dalam bentuk lain seperti waktu, uang, talenta, energi dan lain-lain.

Bagaimana kita menggunakan waktu atau uang menunjukkan apa prioritas kita. Yesus sendiri dengan spesifik mengatakan hal ini di Matius 6:21 yaitu ”Dimana hartamu berada, disitu hatimu berada.” Orang-orang percaya harus mengatur bagaimana mereka menggunakan sumber penghasilan mereka, bukan semata-mata untuk kebutuhan pribadi atau kesenangan mereka saja, namun juga untuk pekerjaan Allah di bumi.
Studi terakhir menunjukkan bahwa rata-rata orang mengabiskan lebih dari lima jam di depan televisi setiap harinya. Jika diasumsikan manusia hidup hingga usia 70 tahun, maka kurang lebih empat belas tahun dari hidup kita terlewat bersama televisi. Mari bertanya kepada diri sendiri seberapa banyak keuntungan yang kita peroleh dari menonton televisi atau pergi ke bioskop, bermain video games, dan membandingkannya dengan jumlah waktu yang kita habiskan untuk Tuhan.

Hal yang sama berlaku untuk uang. Berapa rupiah yang kita keluarkan untuk kepuasaan sementara dan berapa yang kita investasikan untuk jangka panjang atau bahkan investasi kekal? Seberapa keras Anda bekerja untuk diri sendiri dan seberapa sungguh-sungguh Anda mengerjakan panggilan Allah di dunia ini? Ini adalah pertanyaan yang perlu direnungkan oleh setiap orang percaya. Sebagai pengelola yang dipercaya oleh Sang Raja ( Matius 25:14-30) seharusnya kita menyadari bahwa tujuan kita hidup di dunia ini jauh lebih besar daripada kesenangan kita sendiri.

Kita memang saat ini tinggal di dunia dengan segala hal yang ia tawarkan. Namun selalu ingat bahwa kewarganegaraan kita yang sebenarnya bukan dari dunia ini, melainkan dari kerajaan Allah. Pastikan Anda tidak mengecewakan Tuhan yang telah mempercayai Anda sebagai pengelola. Susun kembali prioritas Anda dan bertanyalah kepada Tuhan apakah ini yang Ia mau dengan menempatkan kita di dunia. Selalu ingat apa yang Alkibat katakan dalam Efesus 5: 15 ditulis “Sebab itu, perhatikanlah baik-baik cara hidupmu. Jangan hidup seperti orang-orang bodoh; hiduplah seperti orang-orang bijak.”

From source : Saat Teduh

Jangan Ragukan Janji TUHAN

Baca: Mazmur 119:137-144

“Janji-Mu sangat teruji, dan hamba-Mu mencintainya.” Mazmur 119:140

Sebagai manusia adalah mudah bagi kita untuk berjanji, namun untuk menepati janji itu tidaklah gampang, bahkan seringkali meleset. Banyak orang kecewa karena orang yang diharapkan ternyata telah ingkar janji. Seorang pemuda berjanji hendak menikahi seorang gadis, ternyata janji itu tidak ia tepati, ia malah berpaling ke lain hati dan meninggalkan gadis itu. Janji manusia seringkali berujung pada kekecewaan, padahal pepatah dunia mengatakan bahwa janji adalah utang, sebab itu bayarlah janjimu supaya jangan berutang.

Bagaimana dengan Tuhan kalau Dia berjanji? Alkitab menyatakan bahwa “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya,” (2 Petrus 3:9a) dan “Janji Tuhan adalah janji yang murni, bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah.” (Mazmur 12:7). Karena itu jangan pernah ragu akan janji Tuhan. Ketika berada dalam pergumulan yang berat jangan pernah putus pengharapan. Pandanglah Tuhan Yesus dan pegang janji firmanNya. Jangan melihat kepada berapa besar persoalan yang kita alami, tetapi lihat dengan mata iman betapa besar kuasa dan kemampuan Tuhan kita karena kuasaNya sungguh tak terbatas untuk menolong umatNya.

Kalau pergumulan doa kita belum juga beroleh jawaban, jangan kecewa! Sebaliknya tetap nanti-nantikan Tuhan dan praktekkan firmanNya. Salah satu cara: carilah ayat-ayat dalam Alkitab yang berkenaan dengan masalah yang kita alami, lalu berdoalah sesuai dengan janji Tuhan. Saat kita sedang bergumul dalam masalah ekonomi, pegang ayat ini: “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:19) dan perkatakan itu dengan penuh iman. Ketika kita sedang diliputi oleh rasa takut katakan pada hatimu, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekeaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” (Mazmur 23:4). Ketika kita sedang bergumul dengan sakit-penyakit pegang janji firman Tuhan ini: “Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” (1 Petrus 2:24b).

Kuasa firman Tuhan itu amat dahsyat dan kekuatan janji firmanNya sangat teruji. Oleh sebab itu peganglah teguh janji firman Tuhan, sediakan waktu untuk belajar dan merenungkan firmanNya karena Tuhan ada di balik setiap kata dari firmanNya.

 

Tuhan berkata, “…sebab Aku siap sedia untuk melaksanakan firman-Ku.” (Yeremia 1:12)

 

 

From Source : Jesus Christ, King of kings

Peran Istri Sebagai Penolong

“Berkatalah Sarai kepada Abram: “Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak.” Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai.” Kejadian 16:2







Tahu serial komedi situasi “Suami-Suami Takut Istri?” Serial komedi situasi ini cukup kontroversial karena banyak menampilkan adegan vulgar dan jalan ceritanya pun tidak sering menggambarkan sesuatu yang kurang baik untuk dijadikan tontonan bersama seluruh keluarga. Saya bukan hendak menghakimi serial ini, biarlah semuanya diserahkan kepada masing-masing individu. Tapi apa yang dijadikan tema dasar sebenarnya adalah fenomena yang sering terjadi di kalangan masyarakat.

Ada banyak suami yang begitu takut kepada istrinya akibat dominasi istri yang sangat kuat dalam keluarga. Bahkan ada suami-suami yang akhirnya jatuh ke dalam dosa justru karena dipengaruhi atau malah dipaksa istrinya. Peran dalam rumah tangga menjadi kacau balau, terbalik-balik. Istri menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah, sedang suami menjadi “bapak rumah tangga”. Tidak salah memang ketika istri memutuskan untuk menjadi wanita karir, namun ada fungsi istri dalam Alkitab yang sesungguhnya lebih penting. Beberapa waktu yang lalu kita pernah membahas peran suami sebagai kepala rumah tangga, suami yang baik dari istri mereka sekaligus ayah yang baik bagi anak-anaknya. Kali ini mari kita lihat peran istri menurut Firman Tuhan.

Kisah Abraham yang dijanjikan Allah untuk mendapatkan anak di usia sangat lanjut dan janji untuk mendapatkan keturunan sebanyak bintang di langit adalah sebuah kisah yang tidak asing lagi. Tuhan menjanjikan demikian: “Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: “Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.” Maka firman-Nya kepadanya: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.” (Kejadian 15:4-5). Janji ini turun ketika Abraham sudah sangat lanjut usianya alias kakek-kakek. Istri Abraham, Sara (pada waktu itu masih bernama Sarai) pun sudah tua. Ketika itu Sarai sudah menopause, sehingga secara logika manusia tentu mustahil bagi mereka untuk bisa memiliki anak di usia seperti itu. Yang menjadi masalah, Sarai sebagai istri ternyata lupa bahwa segala sesuatu itu berasal dan bersumber dari Allah. Ia hanya memakai logikanya dan mengabaikan Tuhan sebagai sumber dari segala sesuatu.

Sarai percaya bahwa Tuhan menjanjikan anak dan keturunan yang sangat banyak, tapi dia tidak percaya bahwa itu bisa Tuhan lakukan melalui dirinya yang sudah mati haid. Maka inilah yang terjadi. Sarai melihat wanita-wanita yang potensial di sekelilingnya dan pilihannya jatuh kepada hambanya bernama Hagar. Lalu “berkatalah Sarai kepada Abram: “Engkau tahu, TUHAN tidak memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak.” Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai.” (Kejadian 16:2). Mungkin tadinya tidak terpikirkan oleh Abraham untuk menjadikan Hagar sebagai selir, namun akibat dorongan Sara, itulah yang terjadi. Lewat Hagar lahirlah Ismael. Kita tahu kemudian Tuhan kembali mengulangi janjiNya, dan menegaskan: “Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki.” (18:10). Sara rupanya mendengarkan percakapan itu dan tertawa dalam hatinya. “Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” (ay 12).

Tuhan mendengar hal itu lalu menegur Sara lewat Abraham. “Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Abraham: “Mengapakah Sara tertawa dan berkata: Sungguhkah aku akan melahirkan anak, sedangkan aku telah tua? “Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN? Pada waktu yang telah ditetapkan itu, tahun depan, Aku akan kembali mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara mempunyai seorang anak laki-laki.” (ay 13-14). Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Hal itulah yang dilupakan Sara. Ternyata apa yang dijanjikan Tuhan terjadi. Ketika Abraham telah berusia 100 tahun, lahirlah Ishak, anak dari istri sahnya Sara. Jika saja Sara sabar dan tidak terburu-buru mengambil keputusan maka tidak perlu ada Hagar dalam proses pemenuhan janji Tuhan. Tapi apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah lagi. Akibatnya terasa hingga sekarang. Hari ini kita melihat bagaimana sulitnya keturunan Ishak dan Ismail untuk bisa hidup rukun dan akur. Jika kita mundur ke awal kisah penciptaan manusia, kita pun bertemu dengan kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa akibat kegagalan Hawa mengatasi godaan untuk tidak memakan buah terlarang.

Bukankah banyak istri-istri Kristen yang seringkali tidak sabar dan bertindak terburu-buru seperti Sara? Kecemasan berlebihan dan tidak sabaran seperti ini bisa menjerumuskan suami dan keluarga secara keseluruhan ke dalam jebakan dosa. Tidak mudah memang menjadi sosok istri yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sosok istri menurut Firman Tuhan disebutkan sebagai penolong. Hal ini mengacu pada kisah penciptaan Hawa, bunyinya seperti ini: “TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kejadian 2:18).

Penolong yang sepadan itu tidak diperoleh Adam lewat hewan termasuk burung-burung, namun lewat sosok wanita yang diciptakan melalui tulang rusuk pria. (ay 22). Peran istri sebagai penolong sering digambarkan mewakili sosok Roh Kudus, yang juga dianugerahkan kepada kita sebagai penolong. “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (Yohanes 14:16-17). Tugas yang tidak mudah, tapi itulah hakekatnya peran istri dalam rumah tangga Kristiani. Seorang istri diharapkan mampu menjadi penolong, penasehat dan pemberi masukan bagi suaminya, yang berperan sebagai imam dalam keluarga, mengepalai keluarga seperti halnya Kristus mengepalai jemaat. (Efesus 5:23). Dalam Amsal 31:10-31 kita mendapatkan gambaran mengenai sosok istri yang cakap. Salah satu yang penting diantaranya adalah “Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.” (Amsal 31:26). Sehubungan dengan peran istri sebagai penolong, tentu istri haruslah dipenuhi hikmat Tuhan.

Apa yang dihadapi suami dalam pekerjaan seringkali menyita waktu dan melelahkan, tidak jarang mereka terus berhadapan dengan berbagai godaan, sehingga istri yang berhikmat akan mampu menjadi penolong, yang sepadan dengan suami, agar kebahagiaan dalam rumah tangga bisa tetap terbina dengan baik. Di samping itu, tentu peran suami pun tidak boleh dilupakan. Keduanya harus sejalan. Karena tidak akan ada pemimpin yang baik jika tidak didampingi penolong, sebaliknya penolong pun sia-sia jika tidak ada yang bisa ditolong. Hubungan antara penolong dan pemimpin sesungguhnya merupakan hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan untuk membentuk keluarga sejahtera, bahagia dan diberkati. Penolong dan pemimpin berbeda peran, namun sama pentingnya. Inilah yang dikatakan sebagai “sepadan”.

Mari kita semua mengimani dengan benar bahwa bagi Tuhan segala sesuatunya tidak ada yang mustahil. Dia sanggup melakukan segalanya, karena semua ada lewat Dia. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36). Imani pula Firman Tuhan berikut: “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” (1 Korintus 8:6). Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu tentu punya kuasa penuh pula atas semua ciptaanNya. Oleh karenanya kita tidak perlu cemas dan tidak sabar dalam mengatasi masalah.

Para istri hendaklah memainkan perannya dengan benar, di sisi lain hendaklah suami pun melakukan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Hasil yang indah hanya akan didapat jika keduanya menjalankan peran masing-masing dalam keharmonisan. Peran istri bahkan dikatakan bisa sampai menguduskan suaminya (1 Korintus 7:14), dan itu hanya bisa dicapai jika para wanita mau menjadi sosok istri yang takut akan Tuhan. Jadilah istri teladan, dan bagi kaum pria, jadilah sosok suami teladan pula. Hanya dengan demikian rumah tangga kita bisa menjadi terang dan garam bagi lingkungan sekitar kita.

Istri adalah penolong yang sepadan dengan suami .

Dikuyip dari milis : renungan-harian-online.blogspot.com




Blessing in Disguised

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” 1 Tesalonika 5:18

Tidak biasanya jalanan di salah satu bagian yang selalu saya lewati macet total sampai larut malam. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam, tapi antrian mobil masih terlihat begitu rapat. Saya waktu itu tengah menunggu martabak pesanan saya selesai iseng-iseng ngobrol dengan si penjual. Saya mengomentari keanehan bahwa di waktu selarut itu jalan masih macet. Apa yang ia jawab diluar dugaan saya. “yah, lebih baik macet sih mas.. soalnya kalau tidak macet malah banyak kecelakaan disini.” Ia yang sehari-harinya berjualan martabak di tempat itu dari sore hingga malam tentu tahu bagaimana rawannya jalan yang terbentang di depan tempatnya berjualan. Menurut penjual martabak itu, ada banyak kecelakaan terutama terjadi pada pengendara motor ketika jalanan justru lengang. Mungkin mereka kurang sabar, katanya, sehingga ceroboh ketika mencuri jalur untuk melewati kendaraan di depannya. Dan kecelakaan pun terjadi. Maka ia pun bersyukur bahwa jalanan macet, sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan bisa dihindari, setidaknya untuk malam itu. Apa yang ia katakan selanjutnya terngiang di telinga saya. “Banyak orang yang lupa bersyukur mas.. tahunya mengeluh saja. Padahal ada yang bisa disyukuri ketika sedang (macet) begini..” Dia benar. Blessing in disguise, itu yang lantas terlintas di benak saya pada saat itu. Betapa ketika orang mengeluh akibat kemacetan yang menghambat mereka untuk sampai ke tujuan, di balik itu sebenarnya ada sesuatu yang ternyata positif.

Saya teringat pada kisah Yusuf yang dizalimi saudara-saudaranya sendiri. Ia hampir mati dibunuh, lalu dibuang ke dalam sumur, dan akhirnya dijual sebagai budak hingga sampai ke Mesir. Di Mesir hidupnya tidak menjadi mudah. Berbagai masalah terus ia temukan, termasuk ketika ia digoda oleh istri majikannya Potifar. Penolakannya berbuah dijerumuskannya Yusuf ke dalam penjara. Dan seterusnya, kita tahu bagaimana kisah selanjutnya. Singkat cerita, Yusuf kemudian diangkat menjadi penguasa atas seluruh tanah mesir. (Kejadian 41:41). Bagi manusia biasa mungkin apa yang dialami oleh Yusuf merupakan rangkaian kesengsaraan dan nasib buruk, tapi tidak bagi Yusuf sendiri. Ia tahu ada rencana Tuhan yang luar biasa terbentang di depan. Dan untuk mencapai itu, tidak masalah jika ia harus terbentuk melalui berbagai rintangan. Tidak ada hal yang menciutkan imannya sedikitpun. Dari sudut pandang manusia mungkin yang ia alami terlihat seperti kasus tragis kehidupan atau ketidak adilan, tapi apa yang dilihat Yusuf berbeda. Menghadapi saudara-saudaranya yang dahulu telah berlaku jahat dan kini bersujud di depannya, Yusuf dengan lugas berkata “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (50:20). Mungkin jika sepersepuluh saja dari kisah Yusuf terjadi pada kita, dengan mudah kita akan serta merta kecewa pada Tuhan. Kita memang tidak bisa melihat apa yang akan terjadi di depan kita, tapi mampukah kita menyerahkan segalanya dalam iman untuk percaya kepada Tuhan?

Dalam banyak kesempatan kita lupa untuk bersyukur ketika kita terhambat akan sesuatu, atau ketika kita menghadapi kesulitan. Kita cenderung fokus kepada masalah, mengeluh, protes, bahkan terhadap hal kecil, seperti terjebak kemacetan tadi misalnya. Mungkin kita sering merasa kesal luar biasa ketika harus kembali pulang ke rumah ketika ada barang yang ketinggalan, mungkin kita merasa jengkel ketika menunggu istri atau anak terlalu lama bersiap-siap/berdandan, mungkin kita gampang frustrasi ketika kunci mobil terselip di suatu tempat, dan sebagainya. Hal-hal kecil seringkali gampang menjengkelkan kita. Belum lagi masalah atau kendala besar yang terkadang hadir merintangi langkah kita. Menghadapi sesuatu yang tidak mengenakkan di tempat kerja, menghadapi ketidak adilan dalam kehidupan, atau tekanan demi tekanan yang mungkin mendera kita. Apakah kita mampu terus berusaha mengucap syukur, atau kita segera bersungut-sungut dan memanjakan kekesalan kita? Bisakah kita sadar bahwa mungkin itu jalan Tuhan untuk mencegah kita agar tidak terjatuh kepada sebuah musibah? Tuhan mampu mendatangkan kebaikan lewat 1001 cara, yang mungkin belum atau bahkan tidak akan pernah terselami lewat kemampuan logika manusia. Tuhan menggambarkannya demikian: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” (Yesaya 55:8).

Lewat hal yang kelihatannya menjengkelkan sekalipun bisa terselip berkat tersembunyi, alias blessing in disguise. Apa yang dibuat Tuhan adalah segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28). Dia selalu mengawasi dan menjaga kita, dan apa yang Dia sediakan selalu sesuatu yang terbaik menurut jalanNya, dan bukan jalan kita. Termasuk lewat hal yang menjengkelkan atau bahkan menyakitkan sekalipun. Karenanya ketika menghadapi hambatan, janganlah terlalu cepat emosi atau frustrasi. Sebaliknya, tetaplah mengucap syukur. “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18).

Ketika Tuhan mengerjakan segala sesuatu yang baik untuk kita yang mengasihiNya, tidakkah kita pantas bersyukur untuk semua itu? Ingatlah bahwa Tuhan mampu memberkati kita lewat hal-hal kecil yang mungkin menjengkelkan, bahkan mungkin masalah besar yang saat ini belum terpecahkan, mengijinkan kita melewati itu demi kebaikan kita sendiri. Ketika tukang martabak itu bisa mengerti bahwa ada blessing in disguise dibalik hambatan dan persoalan, bisakah kita juga melihat hal itu?

Tetaplah bersyukur, karena Tuhan bisa memakai sesuatu yang mengesalkan dan mengganggu untuk menjaga, melindungi dan memberkati kita.

Behind many inconvenient situations, there may be blessing in disguise.

Dikutip dari milis : renungan-harian-online.blogspot.com